Apakah Konten TikTok, Facebook, dan Media Sosial Tunduk pada UU Pers atau UU ITE?

Oleh: Alfa Dera
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya

SEBAGAI seseorang yang pernah aktif di dunia pers sebelum berkarier di institusi penegak hukum, saya merasa terpanggil untuk menyampaikan keresahan yang akhir-akhir ini saya temui dalam berbagai diskusi—khususnya dengan beberapa orang yang mengaku sebagai wartawan.

Saya kerap bertanya kepada mereka:

“Apa sebenarnya filosofi dasar dari pers? Apakah pers itu bebas, ataukah merdeka?”

Ternyata, masih banyak yang bingung membedakan antara kebebasan pers dan kemerdekaan pers.

Padahal, jika kita merujuk pada latar belakang akademik dan naskah pembentukan Undang-Undang Pers, istilah yang lebih sering digunakan adalah “kemerdekaan pers”, bukan “kebebasan pers”.

Kemerdekaan pers mengandung makna yang lebih dalam daripada sekadar kebebasan. Pers yang merdeka adalah pers yang bertanggung jawab, terikat kode etik, dan berperan menjaga nilai-nilai demokrasi.

Baca Juga:  Taliban 2.0

Era Digital: Semua Bisa Viral, Tapi Apakah Itu Jurnalistik?

Dengan kemajuan teknologi, saat ini siapa pun bisa membuat konten, memviralkannya, bahkan mengklaim dirinya sebagai “jurnalis” hanya karena memposting berita di TikTok, Facebook, atau media sosial lainnya.

Pertanyaannya: Apakah konten media sosial itu bisa dianggap sebagai karya jurnalistik dan tunduk pada Undang-Undang Pers? Ataukah ia tunduk pada UU ITE dan aturan hukum lainnya?

Perbedaan Karya Jurnalistik dan Konten Media Sosial

Menurut hemat penulis, konten media sosial tidak secara otomatis dianggap sebagai karya jurnalistik dan tidak serta-merta tunduk pada UU Pers.

Mengapa demikian?

Karena untuk disebut sebagai karya jurnalistik, ada standar etika dan prinsip yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, di antaranya:

1. Menguji informasi (check and recheck)

2. Berimbang (memberikan ruang kepada semua pihak)

Baca Juga:  Wah! 6 Hewan Peliharaan Idol K-pop Ini Punya Followers Sampai Jutaan

3. Tidak mencampur fakta dan opini yang menghakimi

4. Segera meralat kesalahan

5. Memberi ruang hak jawab dan hak koreksi

Pertanyaannya, apakah konten di media sosial sudah melalui semua proses ini?

Jika tidak, maka tidak bisa disebut sebagai karya jurnalistik. Artinya, jika ada yang merasa dirugikan, proses hukum yang digunakan bukan melalui mekanisme Dewan Pers, melainkan berdasarkan UU ITE atau hukum pidana lainnya.

Penting juga dicatat bahwa menurut Gaudensius Suhardi (Direktur Pemberitaan Media Indonesia), media sosial bukanlah bagian dari pers, dan produk yang dihasilkan di dalamnya bukan karya jurnalistik, meskipun akun tersebut dimiliki oleh institusi media sekalipun.

Dasar Hukum

Hal ini dikuatkan pula oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 39/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa konten media sosial tunduk pada UU ITE, bukan pada UU Pers, kecuali bisa dibuktikan bahwa konten tersebut adalah produk jurnalistik sesuai standar yang berlaku.

Baca Juga:  Peran Strategis Generasi Digital

Dalam konteks penegakan hukum, keterangan ahli pers bisa menjadi alat bukti penting untuk membedakan mana yang termasuk karya jurnalistik dan mana yang tidak.

Penutup: Jaga Marwah Profesi Pers

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kecintaan saya kepada dunia pers. Dunia ini pernah menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup saya, dan saya yakin bahwa pers yang merdeka adalah pilar penting dalam demokrasi.

Untuk itu, saya mengajak semua pihak—terutama yang berprofesi sebagai wartawan—untuk menjaga marwah dan integritas profesi.

Jangan biarkan media sosial mencampuradukkan antara kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab jurnalistik.

Mari bijak dalam bermedia. Gunakan hak berpendapat dengan penuh kesadaran hukum.

Karena kebebasan tanpa tanggung jawab bukanlah kemerdekaan—melainkan kekacauan. ***

Komentar