Referensinews.com – Menteri Pertanian (Mentan) RI, Amran Sulaiman mengungkap hanya 20-40 persen beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang dijual ke penyalur sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
Amran menduga, selebihnya, pasokan beras SPHP dikemas ulang alias oplosan dan dijual dengan harga tinggi atau premium.
“Kami sampaikan, SPHP beras ini, itu juga kalau ini informasi, kalau informasi yang kami terima. SPHP yang dijual ke penyalur itu 20-40 persen itu dijual sesuai standar,” ujar Amran dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, pada Jumat, 27 Juni 2025.
“Kemudian selebihnya dibongkar, kemudian dijual, dikemas ulang, dijual dengan harga premium, medium bukan SPHP. Tapi ini laporan dari bawah,” imbuhnya.
Perihal itu, Amran menyoroti praktik mengoplos beras menjadi salah satu modus mafia beras. Selain itu, Mentan RI menyebut terdapat pula sejumlah modus lainnya untuk mempermain harga beras di pasaran.
Menteri di Kabinet Merah Putih itu memaparkan, beras oplosan merupakan mencampur beras jenis satu dengan yang lainnya. Dalam kasus ini, para oknum yang mencampur beras bersubsidi dengan kualitas lainnya untuk mendapatkan laba yang lebih besar.
“Kami minta tolong kalau itu terjadi, jangan dilakukan, jangan diulangi. Sekali lagi, saudaraku yang bergerak sektor pangan mulai hari ini, tadi kami sepakat nanti disampaikan Pak Satgas Pangan, mulai hari ini dihentikan,” tegas Amran.
Mentan RI itu kemudian menjelaskan temuan yang mengejutkan soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET). Akibat pelanggaran tersebut, potensi kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp99 triliun.
Dalam kasus ini, Amran menuturkan pemeriksaan dilakukan langsung ke pasar-pasar besar di 10 provinsi, dengan menyasar kategori beras premium dan medium, terkait kualitas, takaran, hingga kesesuaian harga dengan aturan pemerintah.
“Tolong kepada saudaraku, ini ada 212 ya, 212 merek. Dari 212 merek ada yang tidak terdaftar mereknya,” tuturnya.
“Ada yang beratnya tidak sesuai, ada yang mutunya tidak sesuai. Itu diatas 80 persen, kemudian harganya tidak sesuai. Ini sangat merugikan konsumen,” tandas Amran.***
















Komentar